Bagi Nenek Siti, bantuan tersebut bukan sekadar logistik, melainkan bentuk kepedulian yang menguatkan batin. Hari-harinya di pengungsian ia jalani dengan sederhana berbagi cerita, beristirahat, dan bercanda dengan relawan.
Perbaikan juga terasa pada layanan komunikasi. Jaringan telekomunikasi yang sebelumnya terganggu akibat banjir kini mulai pulih.
“Telepon HP bagus sekarang. Sudah bisa nelpon,” ujarnya lega.
Hal sederhana itu berarti besar. Kini, ia bisa kembali berkomunikasi dengan keluarga di luar kota.
“Ngobrol sama keluarga sudah bisa?” tanyanya sambil tertawa kecil.
“Bisa, lah. Bisa,” jawabnya yakin.
Di balik tubuh renta dan langkah yang tak lagi sekuat dulu, Nenek Siti menyimpan ketangguhan luar biasa. Banjir memang mengubah rutinitas hidupnya, namun tidak memadamkan rasa syukur dan harapan.
Kisah Nenek Siti menjadi potret kecil dari ribuan warga Aceh Tamiang yang terdampak banjir. Di tengah bencana, kemanusiaan menemukan jalannya melalui perhatian, kepedulian, dan pelukan sederhana yang mampu menguatkan hati mereka yang paling rentan.
(infopublik)












